Sebab nila setitik rusaklah susu sebelanga.
Bukan setitik nila itu yang cepat-cepat dibuang, malah diundanglah banyak-banyak orang mencicipi susu bercampur nila. Rusaklah sudah nama baik susu. Susu oh susu. Apes men nasibmu, Su.
Sebab nila setitik rusaklah susu sebelanga.
Bukan setitik nila itu yang cepat-cepat dibuang, malah diundanglah banyak-banyak orang mencicipi susu bercampur nila. Rusaklah sudah nama baik susu. Susu oh susu. Apes men nasibmu, Su.
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا ….
… dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. [Surat Al-Isra’ 24]
Sayangnda, penggalan ayat Al-Quran di atas adalah sepenggal terakhir dari doa untuk kedua orangtua. Sekarang ini kita sudah jadi ayah dan ibu untuk anak kita, Hiro. Setelah Hiro, insya Allah masih ada adik-adiknya Hiro. Rasanya kita perlu merenungi doa ini.
Terjemahan sepenggal ayat di atas mengajarkan kepada kita bahwa saat kita tua dan renta nanti hanya Allah yang akan menjaga dan mengasihi kita. Anak-anak kita sudah akan bahagia dengan keluarga mereka masing-masing. Bagaimana dengan kita? Kebahagiaan kita di saat anak-anak kita sudah berkeluarga masing-masing bergantung kepada bagaimana kita mendidik dan menyayangi Hiro dan adik-adiknya saat mereka masih “kecil”.
Aku masih bingung untuk membahasakan dengan tepat maksud renunganku hari ini. Mungkin bisa dilihat di orangtua kita sendiri, sayangnda. Di masa tua dan renta orangtua kita, keadaan mereka bergantung kepada bagaimana mereka mendidik dan menyayangi kita waktu kecil. Baik insya Allah berbuah baik, dan sebaliknya. Begitu.
Maka untuk Hiro dan adik-adiknya, mari kita saling mengingatkan bahwa didikan dan ketulusan kasih sayang kita hari ini menentukan didikan dan kasih sayang Allah SWT kepada kita di masa tua renta kita.
Aku suka ketika kamu diam-diam mencium pipi dan keningku di saat aku sedang tidur. Sambil menyelimutiku. Aku terbangun, tapi pura-pura tetap tidur sambil menikmati ciumanmu. Kamu menciumku berkali-kali, aku bangun lalu balas mencium dan memelukmu sambil kita berbaring.
If you want the rainbow, you have to deal with the rain.
Mengundurkan diri dari perusahaan yang sekarang dengan alasan ingin lebih dekat dengan istri dan anak, that’s my rain. And the rainbow will be like, setiap hari mendengarkan tawa dan tangis anakku, memeluk istriku, berdoa dan mendoakan mereka berdua tepat di sisi mereka.
Bismillahirrohmanirrohim….
1 November 2016 yang berarti 7 hari lagi tepat satu tahun pernikahan kita. Tahun pertama yang betul-betul berat untuk kita, sayang. Aku masih belum pindah ke Jawa dan masih harus bolak-balik Makassar-Malang. Anak kita laki-laki dan umur kehamilanmu sekarang 30 minggu. Sebentar lagi. Sedikit lagi. Gak lama lagi baby pertama kita akan lahir memberi warna baru di kehidupan kita. Tak hanya warna, suara dan tingkah laku lucu menggemaskan akan menjadi keseharian kita. Namun, ada “tetapi” di tengah semua bungah hati kita ini.
I would throw all I’ve got here just to be with you and our baby. Love’s weird that way. You both are everything to me. Aku gak mau kelewatan setiap kelucuan dan perkembangan baby kita. Betapa excited aku membayangkan semua hal ini. Membayangkan pula betapa kita harus ekstra sabar dan ekstra perhatian jika baby terbangun tengah malam menangis merajuk minta didekap ibu dan ayahnya. Aku terharu. Namun, ada “tetapi” di tengah semua bungah hati kita ini.
Tetapi aku gak seberani itu untuk melepas semua peganganku di sini. Aku harus menjamin kamu dan baby tidak kekurangan satu apapun, meski itu harus aku bayar dengan harga yang sangat mahal.
Tetapi jika aku setakut itu berarti aku gak percaya dong Allah SWT menjamin rejeki kita? Ah, itulah juga. Kalau sudah dihadapkan pada pertanyaan itu, aku (dan mungkin setiap manusia yang keras kepala) akan membalas dengan berbagai macam logika pembenaran.
Maka ketimbang aku gamang, bantu aku berdoa, sayang. Bantu ayah berdoa, anakku. Ya Allah, mudahkanlah aku menjaga anakku yang merupakan amanah-Mu, dan mohon senantiasa dekatkan dan satukan aku, istriku dan anak-anakku. Satu hati satu kota satu rumah.
Allah merawat kita dengan cara-cara yang kadang sulit kita pahami. Jika sudah begitu, kita hanya bisa nerimo yang Allah sudah gariskan untuk kita. Jangan dikeluhi, jangan disumpahi. Supaya Allah gak murka ke kita.
Setiap yang sedang kita jalani adalah cara yang Allah terapkan pada kita untuk menguji keimanan kita. Seberapa gigih kita ikhtiar, seberapa gencar kita berdoa, seberapa ikhlas kita berserah diri pada Allah. Sehingga setelah kita berhasil melewati ujian demi ujian, kita menjadi manusia yang lebih paham bahwa Allah-lah yang memegang kendali atas kehidupan kita.
Aku sampai hari ini masih pulang-balik Makassar-Malang demi istri dan anakku. Jika aku gak nerimo terhadap kepengurusan Allah ini, Allah pasti murka. Itu yang aku tidak inginkan. Maka bismillahirrohmanirrohim aku jalani sambil terus berikhtiar dan berdoa aku bisa makin dekat dengan istri dan anakku. Allah yang atur, maka aku juga selalu bermohon kepada Allah.
Semoga setelah Idul Adha tahun ini ya, sayangnda…
Di masa-masa ini sesungguhnya aku marah pada diriku sendiri, sayangndaku. Kalau aku banyak bercerita betapa menyebalkan orang-orang di sekalilingku dan aku marah kepada mereka, mungkin karena aku malu mengakui bahwa sebenarnya aku marah pada diriku sendiri. Bagaimana tidak. Belum genap sebulan menikah, aku sudah harus kembali bekerja di seberang pulau. Di umur pernikahan kita yang genap 184 hari ini aku baru pulang dua kali dan itupun hanya sepekan lebih. Sampai saat ini aku belum dimutasi ke Banyuwangi entah karena alasan apa lagi dari perusahaan. Aku marah, sayangda, mungkin justru ke diriku sendiri.
Aku suamimu, tapi gak bisa meluk kamu setiap hari. Gak bisa kecup keningmu saat aku berangkat dan pulang kerja. Gak bisa merasakan masakanmu. Gak bisa bercanda setiap saat sama kamu. Gak bisa menenangkanmu di saat kamu gelisah. Gak bisa menemanimu sepanjang malam membantumu menahan sakit di seluruh badanmu. Aku suamimu, tapi justru aku jauh dan gak bisa lakukan semua hal di atas.
Maka aku marah pada diriku sendiri, tapi aku tutupi dengan marah kepada keadaan di sekelilingku. Begitu, sayangndaku….
Sayangnda, hari ini kita belajar (lagi) dari Nabi Ibrahim as. tentang doa. Kita bisa saja mendambakan anak-anak kita jadi anak yang salih/salihah. Kita bisa saja menerapkan pola didik yang (kira-kira) membentuk kita mereka menjadi anak-anak yang salih/salihah. Apapun bisa kita lakukan, sayangnda. Termasuk doa. Menurutku, doa inilah yang merupakan akar segala harapan dan pola pendidikan terhadap anak-anak kita.
Itu beberapa doa yang diteladankan Nabi Ibrahim as. Menurutku doa ini termasuk doa-doa yang kuat dan jika kita ikhlas melafalkan di setiap lantunan doa kita, insya Allah anak-anak kita adalah anak-anak yang senantiasa taat, berpegang teguh, dan hanya takut kepada Allah swt.
Amiin yaa robbal ‘aalamiin
He kept mention he is not the boss/leader, while in all over any papers he is. I don’t think this is a leadership attitude. Maka saya jadi illfeel terhadap satu orang ini. Saya ingin sekali melemparkan di mukanya kata-kata, “You ARE the boss/leader, so ACT like one.” Menjadi nasihat untuk diri saya pribadi dan siapapun yang baca. Di tempat saya bekerja yang sebelum ini, aku ditunjuk sebagai manajer dan segala konsekuensinya aku jalani. Harus memimpin orang yang lebih senior lah, harus menghadapi kebebalan junior lah, harus terima kritik kanan-kiri lah. Alhamdulillah Allah membantuku melewati semua itu dengan mukus dengan berbagai macam bantuan-Nya.
Maka saya ingin sekali melemparkan di muka seseorang di tempat saya bekerja ini kata-kata, “You ARE the boss/leader, so ACT like one.”
Sayangnda, akan ada masa ketika roda kehidupan kita sedang berada di bawah. Pada saat itu, anak-anak kita tetap penuh senyum meskipun hanya punya satu baju untuk dipakai sekolah selama seminggu. Tetap percaya diri meskipun hanya punya sepasang sepatu yang sudah dua tahun belum diganti. Tetap senang-senang saja ketika terpaksa pulang-pergi sekolah hanya naik sepeda atau berjalan kaki. Atau hal- hal lain yang semacam itu.
Sayangnda, pada saat itulah kita tanamkan dignity kepada anak-anak kita. Martabat. Martabat mereka, sayangnda, bukan dilihat dari seberapa banyak kekayaan yang bisa mereka tampakkan, namun dilihat dari seberapa tegak bahu mereka ketika dunia mencemooh sedangkan (insya Allah) tidak ada dosa sedikitpun pada diri mereka. Mereka hanya akan berpegang teguh pada Allah swt., bukan kepada dunia.
Bismillah, sayangnda. Ini renunganku hari ini.