alhamdulillah. Jazakumullah khoiron katsiiron kepada Pak AR Sugeng Riyadi.

Pak AR ex-guru Fisika

Kembali saya menerbitkan Jadwal Imsakiyah versi MS Ecxel. Untuk 1433 H ini sengaja saya masukkan pilihan Tahun, Kota, Sudut Shubuh dan Tinggi Hilal. Harapannya, dengan model masukan ini bisa memenuhi keperluan setiap Muslim yang sangat beragam kriterianya di Indonesia ini. Ada yg aliran hisab, ada yang rukyah. Ada yg Shubuh versi Pemerintah, ada juga yang Qiblati, dst..dst

View original post 111 more words

Tauhidullah Harus Menjadi Landasan dalam Membangun Peradaban

Diskusi kita kali ini dimulai dengan dua kutipan dari dua buku sebagai berikut:

“….mengapa kemudian umat Islam berhenti berpikir selama ratusan tahun?” (Maarif, 2009, h.43)

“….keterbelakangan kaum Muslim dalam sosial-ekonomi-politik dan tradisi keilmuan, bahkan moral, membuat sebagaian besar kaum Muslim gagap dalam mengantisipasi tantangan dan perubahan zaman yang sedemikian keras.” (Heriyanto, 2011, h.9)

Dua kutipan tersebut dilontarkan dalam konteks tradisi keilmuan yang pernah pesat dikembangkan oleh kaum muslimin. Diskusi kali ini mungkin akan lebih banyak memaparkan bacaan-bacaan saya beberapa waktu belakangan ini. Saya berharap terdapat proses berpikir dan merenung juga di kalangan pembaca dan teman-teman pembaca lain.

Sebagai pengantar, tulisan kolega saya yang berjudul “Muslim Pembelajar, tentang Waktu dan Cinta Ilmu” bisa menjadi awalan yang baik dalam diskusi kita kali ini. Saya sepakat dengan hampir seluruh uraian dalam tulisan tersebut, kecuali pada bagian kesimpulan, yaitu: ” Sejarah telah mencatat, bahwasanya tumbuhnya peradaban berawal dari tumbuhnya tradisi keilmuan karena substansi sebuah peradaban adalah ilmu pengetahuan.” Saya berpendapat bahwa substansi dari peradaban adalah Tauhid, atau dalam bahasa lain bapak kita Sjafruddin Prawiranegara: ideologi. Heriyanto pun menekankan mengenai landasan Tauhid ini dalam buku “Menggali Nalar Saintifik Islam.”

Al-Quran dalam QS.3:190-191 menyatakan dalil yang pas untuk mengembangkan kembali tradisi keilmuan umat Islam: tafakkur. Kalau Heriyanto (2011) menyebutkan filsafat sebagai kunci, saya membaca yang dimaksudkan Heriyanto sebagai tersebut sebagai proses tafakkur. Tafakkur terhadap kejadian alam akan membawa manusia kepada kebenaran yang universal dan berujung pula kepada Tauhid yang semakin lurus dan shahih. Tafakkur ini merupakan sebuah proses yang berawal dari Tauhid (atau ideologi) dan berujung kepada Tauhidullah. Sangat disayangkan bahwa proses tafakkur ini tidak lagi menjadi budaya dan tradisi di kalangan umat muslim, terutama yang masih muda. Pemuda muslim makin disibukkan oleh “kerja-kerja” penelaahan yang dangkal, semisal membaca dari internet, potongan berita, cuplikan artikel, pembaruan status, running text, dan sumber-sumber informasi lain yang instan. Saja memberikan jaminan bahwa tidak banyak proses tafakkur yang bisa kita lakukan dengan mengamati sumber-sumber informasi instan seperti itu, terutama apabila yang membuat informasi telah melakukan rekayasa informasi.

Sehingga untuk kembali kepada kejayaan tradisi keilmuan muslim, dalam bahasa saya: kemerdekaan berpikir dan berkehendak, umat Islam harus meluruskan Tauhid dan kembali kepada ajaran yang lurus dan menyeluruh yang telah diajarkan langsung oleh Rasulullah Muhammad saw. Hal ini juga sudah saya singgung pada tulisan saya yang berjudul “Meraih Kemerdekaan Kita Kembali”, walaupun saya menyinggung contoh kasus yang lain. Ada baiknya bagian penting dari tulisan saya tersebut saya cantumkan kembali di tulisan ini.

“Merdeka secara pemikiran bisa kita dapatkan dengan banyak membaca buku. Buku! Bukan internet, bukan twitter, bukan facebook, bukan pula sumber-sumber lain yang otentisitasnya bisa direkayasa. Buku dan manusia adalah sumber rujukan yang akan memperkaya pemikiran kita; memperkaya akal; memperkaya budi; memperkaya nurani. Buku adalah sumber-sumber yang padanya direkam segala macam pemikiran dan kejadian yang dialami setiap anak manusia yang menulis buku tersebut. Sedangkan manusia adalah pelaku sejarah yang dapt menceritakan dengan lebih hidup setiap jejak sejarah yang telah dia jalani sepanjang dia hidup di muka bumi. Buku dan manusia dapat menjadi referensi pemikiran yang luar biasa kaya. Pemikiran model apapun bisa kita dapatkan di berbagai buku, untuk dapat kita persamakan dan perbedakan. Perbandingan ini membawa kita kepada pemikiran baru atau mengikuti pemikiran yang sudah ada yang paling sesuai dengan kita. Kemerdekaan pemikiran yang terbentuk dari membaca buku dan mengenal manusia ini adalah untuk bisa melawan pemikiran dan turunan dari pemikiran tersebut yang bertentangan dengan pemikiran yang sedang kita ikuti.

Namun pedoman utama kemerdekaan pemikiran adalah nurani kita sendiri. Fitrah manusia. Ada yang menyebut ini dengan “kemanusiaan”. Saya mengikut kepada orang-orang yang menyebut fitrah tersebut dengan sebutan Islam. Dengan mengacu kepada fitrah, kita juga selalu mengasah, memperbedakan, dan mempersamakan pemikiran kita dengan yang lain. Kita ambil pemikiran yang paling sesuai dengan fitrah.

Setelah itu, ada pula kemerdekaan berkehendak. Sama saja. Kemerdekaan berkehendak ini harus berdasarkan fitrah manusia juga. Kehendal yang sesuai fitrah, yaitu Islam, tidak akan melangkahi hak orang lain dan tidak akan mengingkari kewajiban diri sendiri terhadap diri dan lingkungan. Kehendak adalah hasil atau buah dari pemikiran, sehingga merupakan cermin yang paling nampak dalam pandangan manusia.”

…(bersambung)

Berniat Kebaikan Belaka Sama dengan Berbuat Kejahatan?

Saya akhirnya bersepakat dengan salahsatu pernyataan dosen saya, “biasa-biasa sajalah.” Beliau mengatakan ini dalam konteks membanding-bandingkan orang dengan orang. Kalau saya boleh menambahkan, “biasa-biasa sajalah, toh dia bukan Nabi atau sahabat Nabi.” Saya bersepakat dengan pernyataan tersebut setelah hari ini sadar bahwa sebenarnya banyak sekali orang-orang yang bekerja di bawah gegap gempita popularitas, namun layak dikonsumsi media. Majalah Janna di penghujung 2011 menampilkan sosok-sosok yang beberapa diantaranya saya tidak pernah tahu. Mungkin saya tahu kerja-kerja mereka, tetapi siapa yang berperan di balik karya ini, saya baru mengetahui nama-nama mereka hari ini.

Terhadap hal ini, menurut saya, kita harus mulai belajar memendam rapat-rapat setiap pekerjaan kita. Biarlah Allah dan malaikat pencatat amal yang tahu. Tidak perlu kita terlalu genit selalu memamerkan setiap pemikiran dan pekerjaan kita. Allah itu kan memberikan nilai satu pahala kalau kita berniat kebaikan. Itu adalah nilai pahala yang sama persis dengan dosa ketika kita melakukan kejahatan, karena niat berbuat jahat tidak dinilai satu dosa. Baru kalau niat baik menjadi pekerjaan yang baik, Allah akan mencatatkan satu pahala lagi, bahkan dalam situasi tertentu diberi bonus berlipat ganda nilai pahala yang diberikan. Apa motivasi yang terkandung di sini?

Ya dalam hemat saya, kalau seseorang hanya bisa berniat kebaikan, sama saja dengan orang yang berbuat jahat. Tidak jauh berbeda. Motivasi lain yang diberikan Allah adalah: kalau hanya niat berbuat kebaikan saja sudah dinilai satu, masa seumur hidup kita hanya berniat belaka? Manusia itu kan gudang salah dan dosa. Kalau satu pahala berniat baik kita terus terhapus dengan satu dosa kita berbuat jahat, resultan kita selalu nol dong. Rugilah kita di yaumu al-mizan nanti. Maka untuk kita sekarang, bekerjalah sebanyak yang mampu kita kerjakan dan diam-diam sajalah. Harusnya kita takut menjadi golongan orang-orang “an taquulu maa laa ta’lamuuna.

Indecisive dan Daya Juang

Kata pertama: INDECISIVE. Saya dapatkan di tengah-tengah permainan komputer yang saya mainkan tadi siang. Achievement untuk strategi yang terus berubah tak pasti dalam game tersebut.

Kata kedua: DAYA SAING. Saya dengarkan semalam di radio yang membahas berbagai hal tentang karakter pemenang; winning attitude.

Lantas dua kata itu bergabung dalam khutbah sholat Jumat Dr. Hermawan K. Dipojono tadi siang. Menarik. Kondisi bangsa ini saya nilai indecisive. Pemuda bangsa ini saya nilai indecisive. Tetapi rakyat punya  daya juang yang tinggi untuk bangkit.

Teringat bacaan tentang biografi Sjafruddin Prawiranegara. Terakhir saya baca tentang ORI yang beliau prakarsai. Memang ORI tidak bertahan bertahun-tahun, namun membaca biografi yang ditulis Ajip Rosidi itu meneguhkan keyakinan bahwa pemerintah dan pemuda negeri ini indecisive. Kita mungkin tidak akan pernah lagi memutuskan hal sekuat keputusan pendahulu kita pada peristiwa Bandung Lautan Api. Mereka begitu sigap membaca keadaan dan begitu rela berkorban. Indecisive tidak ada. Daya juang juga tinggi.

Pertanyaan besar yang kemudian muncul: “Apa aku dan orang-orang yang kukenal juga menjadi indecisive seiring kondisi negeri yang luar biasa karut-marut?”

“Pemuda harus segera bertindak!” (Sjafruddin Prawiranegara, 1945)

Meraih Kemerdekaan Kita Kembali

Masa-masa sekarang ini di kampus adalah masa-masa kaderisasi mahasiswa, sampai sekitar bulan Agustus nanti. Proses kaderisasi ini tentu penting sebagai proses penjagaan nilai-nilai kemanusiaan yang diusung oleh bermacam-macam pengkader.

Satu hal yang selalu ada dalam kaderisasi ini adalah salam mahasiswa. Salam Ganesha. Salam yang sering ditutup dengan 3 kali pekikan “Merdeka!”, seolah-olah bangsa ini belum merdeka dari penjajahan. Saya pribadi menilai belum. Mungkin juga banyak yang sepakat dengan saya bahwa bangsa kita belum merdeka secara kehendak dan pemikiran. Cermin terdekat tentu dari pengamatan dan kemirisan saya sendiri melihat proses-proses kaderisasi. Kemerdekaan adalah hal yang paling ingin saya soroti kali ini.

Pekik “Merdeka!” 3 kali yang menutup Salam Ganesha di setiap proses kaderisasi bukanlah pekik yang sarat makna. Itu hanya pekik yang sesaat memerindingkan bulu kuduk, kemudian di saat lain hilang menguap bersama angin. Tidak sarat makna. Pendapat ini muncul karena saya pribadi menilai masih banyak peserta kaderisasi yang mengikuti proses hanya karena terpaksa atau alasan pragmatis yang lain. Para peserta belum merdeka secara pemikiran dan kehendak.

Hal lain terkait kaderisasi yang membuat saya menyatakan bahwa pekik “Merdeka!” 3 kali ini sepi atau sunyi makna adalah komandan lapangan (danlap). Hanya masalah teknis, tapi bagi saya ini mencolok dan mengganggu. Memberikan kesan yang hanya bagus di kemasan, namun kurang kuat di alasan. Masalah teknis tersebut adalah pembawaan orasi/pidato/pembicaraan danlap yang menggunakan intonasi patah-patah. Semua danlap di semua proses kaderisasi kampus ini menggunakan cara yang sama. Dalam pendapat saya, para danlap ini tidak merdeka dalam pemikiran, tetapi boleh jadi merdeka dalam berkehendak. Sekedar “boleh jadi”.

Merdeka secara pemikiran bisa kita dapatkan dengan banyak membaca buku. Buku! Bukan internet, bukan twitter, bukan facebook, bukan pula sumber-sumber lain yang otentisitasnya bisa direkayasa. Buku dan manusia adalah sumber rujukan yang akan memperkaya pemikiran kita; memperkaya akal; memperkaya budi; memperkaya nurani. Buku adalah sumber-sumber yang padanya direkam segala macam pemikiran dan kejadian yang dialami setiap anak manusia yang menulis buku tersebut. Sedangkan manusia adalah pelaku sejarah yang dapt menceritakan dengan lebih hidup setiap jejak sejarah yang telah dia jalani sepanjang dia hidup di muka bumi. Buku dan manusia dapat menjadi referensi pemikiran yang luar biasa kaya. Pemikiran model apapun bisa kita dapatkan di berbagai buku, untuk dapat kita persamakan dan perbedakan. Perbandingan ini membawa kita kepada pemikiran baru atau mengikuti pemikiran yang sudah ada yang paling sesuai dengan kita. Kemerdekaan pemikiran yang terbentuk dari membaca buku dan mengenal manusia ini adalah untuk bisa melawan pemikiran dan turunan dari pemikiran tersebut yang bertentangan dengan pemikiran yang sedang kita ikuti.

Namun pedoman utama kemerdekaan pemikiran adalah nurani kita sendiri. Fitrah manusia. Ada yang menyebut ini dengan “kemanusiaan”. Saya mengikut kepada orang-orang yang menyebut fitrah tersebut dengan sebutan Islam. Dengan mengacu kepada fitrah, kita juga selalu mengasah, memperbedakan, dan mempersamakan pemikiran kita dengan yang lain. Kita ambil pemikiran yang paling sesuai dengan fitrah. Dengan kemerdekaan pemikiran yang berdasarkan fitrah, setiap proses kaderisasi akan lebih berwarna dan sarat makna. Setiap peserta punya jalan pikir masing-masing yang dapat dipersamakan dang diperbedakan dengan jalan pikir pengkader. Ada proses diskusi. Ada proses mencari kebenaran, menguji kebenaran, dan mengoreksi nilai-nilai yang selama ini keliru atau menyimpang. Dengan kemerdekaan pemikiran, pengkader dan yang dikader tidak punya posisiyang lebih superior atau lebih inferior. Duduk dalam satu forum menjadi setara. Perbedaan hanya ada dalam taraf-taraf penghormatan terhadap tata tertib yang telah disepakati bersama. Kemerdekaan berpikir untuk danlap adalah lebih khusus dalam hal mencari bentuk pembawaan yang tidak lagi seragam dan monotone di antara semua danlap. Sekali lagi buku dan manusia menjadi referensi yang harus selalu dikejar dan ditelaah.

Setelah itu, ada pula kemerdekaan berkehendak. Sama saja. Kemerdekaan berkehendak ini harus berdasarkan fitrah manusia juga. Kehendal yang sesuai fitrah, yaitu Islam, tidak akan melangkahi hak orang lain dan tidak akan mengingkari kewajiban diri sendiri terhadap diri dan lingkungan. Kehendak adalah hasil atau buah dari pemikiran, sehingga merupakan cermin yang paling nampak dalam pandangan manusia.