Information Highway

The Laws of Data Smog:
#12: On the information highway, most roads bypass journalists. (David Shenk, 2007)

Seperti inilah mungkin yang terjadi di newsfeed atau homepage jejaring sosial sebagian besar dari kita. Informasi seremeh apapun bisa menjadi booming, tanpa mempedulikan esensi atau kebenaran (atau ketidakbenaran) yang terkandung di dalam berita yang (seenaknya) kita sebarkan itu. Well, thanks to internet and easily-accessible wireless networks.

So buat saya, postingan teman-teman saya di newsfeed atau homepage jejaring sosial saya tidak berarti banyak, meskipun dengan judul yang sangat provokatif sekalipun. Ya memang saya jadi permisif, tapi inilah cara yang saya pilih ketimbang menjadi manusia impulsif yang terhanyut ke mana arus membawa.

Bytheway, saya rekomendasikan buku “Data Smog; Surviving The Information Glut” by David Shenk.

Konsumerisme adalah Efficient Cause dari Pengrusakan Alam

https://i0.wp.com/www.greenillusions.org/wp-content/uploads/2011/09/Cover-Green-Illusions.jpgSaya penasaran dengan buku “Green Illusions” karangan Ozzie Zehner. Pada resensi atau review buku tersebut dituliskan bahwa kita sekarang ini bukan krisis energi, melainkan krisis konsumsi. Energi msih akan melimpah ruah, namun konsumerisme masih akan sangat sulit untuk dibendung. Mungkin buku ini menekankan bahwa konsumerismelah yang bertanggungjawab terhadap kerusakan alam yang terjadi di muka bumi. Kita disuguhkan berbagai data dan fakta terkait pengrusakan alam, global warming, pencairan es kutub. Namun kita sedikit sekali disuguhkan  kesadaran bahwa konsumerismelah yang menyebabkan manusia merusak alam. Ada efficient cause di balik semua pengrusakan dan keruskan alam. Jadi ke depan, dalam mengusung isu lingkungan kita harus mampu mengaitkan dengan pola konsumsi kita sehari-hari. Konsumsi air, makanan, dan  energi  menghasilkan sampah atau limbah atau polusi yang memberikan dampak masing-masing kepada alam. Dengan menyadarkan masyarakat terhadap pola konsumsi yang merusak, kita turut menyadarkan masyarakat secara tidak langsung terhadap kerusakan alam. Mari berusaha dari diri kita sendiri, dari sekarang, dan dari hal yang kecil.

Berikan Kontribusi yang Abadi

16:96

Sering kita melihat teman-teman kita bangga atau membangga-banggakan secara berlebihan suatu hal yang sedang atau telah dia kerjakan, terlepas dikerjakan dengan baik atau setengah baik. Kadang ada yang merasa cukuplah begitu saja tanpa perlu menambah tantangan. Comfort zone. Padahal comfort zone dapat membuat orang jadi resistan terhadap perubahan atau saran baik yang dibawa dari orang luar yang sama sekali baru.

90:790:990:1090:1190:12

Allah menyarankan kita mengambil jalan mendaki, bukan jalan datar atau menurun. Improvement. Dan improvement harus dijalani dengan kesabaran, seperti dinyatakan pada QS. an-Nahl (16):96. Sabar menempuh jalan mendaki (perubahan dan perbaikan), maka Allah membalas dengan hal yang jauh lebih baik dari yang telah atau sedang kita usahakan. Yakin saja. Luruskan niat kepada Allah SWT. Raih peluang perubahan. Tutup pintu riya’. Buka pintu kelapangan menerima pendapat orang lain. Tempuh jalan mendaki, lalu bersabarlah. Awali, selingi, dan akhiri dengan doa yang tulus. Insya Allah kita mampu memberikan kontribusi baru dan lebih nyata dan lebih baik kepada umat.

[Books] Green Illusions by Ozzie Zehner

Green Illusions by Ozzie Zehner

We don’t have an energy crisis. We have a consumption crisis. And this book, which takes aim at cherished assumptions regarding energy, offers refreshingly straight talk about what’s wrong with the way we think and talk about the problem. Though we generally believe we can solve environmental problems with more energy—more solar cells, wind turbines, and biofuels—alternative technologies come with their own side effects and limitations. How, for instance, do solar cells cause harm? Why can’t engineers solve wind power’s biggest obstacle? Why won’t contraception solve the problem of overpopulation lying at the heart of our concerns about energy, and what will?
This practical, environmentally informed, and lucid book persuasively argues for a change of perspective. If consumption is the problem, as Ozzie Zehner suggests, then we need to shift our focus from suspect alternative energies to improving social and political fundamentals: walkable communities, improved consumption, enlightened governance, and, most notably, women’s rights. The dozens of first steps he offers are surprisingly straightforward. For instance, he introduces a simple sticker that promises a greater impact than all of the nation’s solar cells. He uncovers why carbon taxes won’t solve our energy challenges (and presents two taxes that could). Finally, he explores how future environmentalists will focus on similarly fresh alternatives that are affordable, clean, and can actually improve our well-bein

Agama yang Menguatkan

16:7616:75

Keyakinan apapun, tradisi manapun, penafsiran apapun yang tidak membuat Anda lebih berguna, lebih berkuasa, dan lebih bebas untuk bertindak pastilah salah. Dengan kata lain, penafsiran yang benar adalah penafsiran yang membuat Anda lebih kuat dan merasa memiliki kemampuan yang lebih banyak untuk melakukan perbedaan dalam hidup. (Dr. Sultan Abdulhameed, 2001)

Kalau Anda membaca kisah-kisah tentang perang-perang awal kaum Muslimin (Badar, Uhud, Khondaq) yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW, Anda akan mendapatkan pembenaran atau bukti terhadap kutipan di atas. Tidak peduli Anda membaca yang naratif atau deskriptif, selama sumber yang Anda baca merupakan sumber absah, kesimpulan yang didapatkan akan tetap sama.

Pada dasarnya Islam itu menguatkan umat manusia.  Catatan terhadap statement tersebut adalah: selama Anda mengambil penafsiran paling murni yang diteladankan langsung oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau SAW. Tidak rumit. Itu saja. Jadi kalau kemudian ada kelompok-kelompok yang mengaku berazaskan Islam, kemudian memberikan kepada Anda pemahaman yang ternyata membuat Anda merasa lemah tak berdaya, berhati-hatilah. Bisa jadi mereka tidak menawarkan Islam yang lurus, murni, dan menyeluruh, atau malah bukan Islam. Namun, Anda pun tetap harus bisa menemukan bukti, bukan berdasar subjektivitas.

Masihkah Kebijakan Ekonomi Kita Sama?

Saya tidak mengerti betul tentang ekonomi. Namun membacai kumpulan tulisan Sjafruddi Prawiranegara dalam buku “Ekonomi & Keuangan: Makna Ekonomi Islam”, nampaknya seluruh uraian di situ masih sangat dapat diperhatikan dalam masa sekarang. Ya memang sudah empat puluh tahun berlalu, tetapi tetap ada relevansi yang bisa diamati.

Apa artinya? Mungkin berarti Indonesia tidak banyak mengambil jalan kebijakan ekonomi yang signifikan berbeda selama empat puluhan tahun ini. Benarkah itu? Ataukah kecenderungan ekonomi negara berkembang memang selalu seperti itu? Mari kita simak lebih lanjut tulisan-tulisan beliau dalam buku ini.

Kumpulan Tulisan Sjafruddin Prawiranegara (Jilid 2)

Pikirkan Industri Negeri Ini

“….maka dalam ikhtiar mencari obyek, guna investasi itu, kita senantiasa harus mencari obyek yang memenuhi segenap atau sebagaian dari syarat-syarat seabgai berikut:

  1. Perusahaan yang hendak didirikan, atau usaha yang hendak dikerjakan itu harus memberi lapangan pekerjaan kepada orang banyak;
  2. Perusahaan atau usaha itu mesti memberi hasil yang sebanyak-banyaknya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tetapi dengan mengingat pula kontinuitas (kalnjutan) usaha itu;
  3. Barang yang hendak dihasilkan mesti merupakan barang-barang yang banyak diimpor, yang menunjukkan bahwa barang itu merupakan barang keperluan masyarakat yang pokok;
  4. Barang yang hendak dihasilkan itu mesti terdiri atas bahan-bahan yang banyak terdapat di negeri kita sendiri, atau, kalau belum ada, mudah dapat dihasilkan di Indonesia, melihat keadaan dan iklim tanah dan sebagainya.”

(Sjafruddin Prawiranegara, 1952)

Uraian di atas menarik karena sejalan dengan hal-hal yang memang saya dan teman-teman impikan sejak lama.Saya berpendapat, lulusan sarjana ataupun para wirausahawan di negeri ini harus mulai menggarap industri-industri hulu yang berorientasi kepada maritim dan pertanian. Industri hulu yang selama ini masih menggiurkan sebagai ladang investasi adalah industri ekstraksi bahan tambang, padahal potensi terbesar Indonesia adalah maritim dan pertanian. Jika saja dari setiap sepuluh ribu lulusan sarjana dan wirausahawan di Indonesia ada paling sedikit lima puluh orang yang menggarap industri hulu berbasis maritim dan pertanian, Indonesia akan mampu bersaing ekspor dengan produk-produk lain dari luar negeri.Hal lain yang menguntungkan adalah rakyat negeri ini akan bisa memperoleh barang-barang dengan kualitas sama dengan produk impor, namun dengan harga yang lebih murah. Sangat menguntungkan dan membantu rakyat kita.

Oleh karena itu, lewat uraian singkat ini, saya mengajak kepada para sarjana dan wirausahawan muda untuk mulai sekarang juga emilih indutri hulu (terutama maritim dan pertanian) yang akan dia majukan dalam satu, dua, sepuluh, lima puluh, bahkan seribu tahun dan lebih lagi di masa mendatang. Dengan sedikit kerelaan untuk menempuh jalan mendaki, insya Allah dari yang kita rencanakan untuk masa depan tersebut akan mendatangkan barokah dan kebaikan untuk umat dan diri kita sendiri.

Anda harus mau!

Kapan Anda Pertama Kali Sadar Akan Sampah?

Penulis buku “GreenDeen” pada pengantar Bagian I tentang Limbah memberikan beberapa pertanyaan menarik sebagai berikut:

“….tanyakan pada diri sendiri: “Dari mana datangnya sampah yang anda hasilkan? Ke mana sampah itu pergi? Bagaimanakah cara yang paling baik untuk terlibat dalam upaya menjadikan dunia tempat yang lebih bersih dan sehat?”

Beberapa pertanyaan lain pun selalu dimunculkan di akhir setiap bab buku ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan banyak membantu pembaca untuk merumuskan kepedulian terhadap lingkungan hidup yang segera bisa langsung dieksekusi secara sederhana, cepat, dan tepat guna. Nah, untuk pada tulisan kali ini, saya ingin berbagi jawaban peribadi dari pertanyaan yang diajukan pada akhir Bab I yang berjudul “Perilaku Konsumtif yang Berlebihan. Ibrahim Abdul Matin, sebagai penulis buku ini, mengajukan pertanyaan retoris sebagai berikut:

“….tanyakan pada diri sendiri: “Kapan anda pertama kali sadar akan sampah?”

Kesadaran tentang sampah muncul pertama kali ketia SD pada pelajaran tentang moral. Kami diajarkan untuk senantiasa membuang sampah di tempat sampah agar tidak menyebabkan saluran air tersumbat dan mengakibatkan banjir. Permainan-permainan semasa kecil juga menambah kesadaran akan sampah, apalagi menyaksikan got yang tersumbat sampah sampai meluap airnya. Di rumah, saya juga dibiasakan untuk setiap sore atau pagi membantu orangtua membuang sampah. Perkenalan —lebih tepatnya, persentuhan— pertama dengan sampah-sampah dapur yang berbau busuk karena agak lama dibiarkan tertumpuk. Tugas saya terhadap sampah dari dalam rumah adalah membuangnya keluar rumah di tempat penampungan sampah yang lebih besar untuk kemudian diangkut oleh truk sampah. Saya harus rela menahan napas atau menutup hidung oleh karena bau sampah yang sangat busuk.

Kesadaran paling kuat tentu muncul pada saat kuliah, setelah lebih paham definisi dan bermacam-macam limbah. Ditambah pula aku berkesempatan kuliah di kota yang menangani sampah secara luar biasa buruk. Sampah di dekat kampus bisa menimbulkan bau menusuk hidung akibat tertumpuk berhari-hari. Namun miris juga melihat dan menyadari bahwa dari tumpukan sampah busuk itu, masih ada saja yang menggantungkan harapan akan nafkah, rezeki, bahkan makanan di situ. Masya Allah…

Tauhidullah Harus Menjadi Landasan dalam Membangun Peradaban

Diskusi kita kali ini dimulai dengan dua kutipan dari dua buku sebagai berikut:

“….mengapa kemudian umat Islam berhenti berpikir selama ratusan tahun?” (Maarif, 2009, h.43)

“….keterbelakangan kaum Muslim dalam sosial-ekonomi-politik dan tradisi keilmuan, bahkan moral, membuat sebagaian besar kaum Muslim gagap dalam mengantisipasi tantangan dan perubahan zaman yang sedemikian keras.” (Heriyanto, 2011, h.9)

Dua kutipan tersebut dilontarkan dalam konteks tradisi keilmuan yang pernah pesat dikembangkan oleh kaum muslimin. Diskusi kali ini mungkin akan lebih banyak memaparkan bacaan-bacaan saya beberapa waktu belakangan ini. Saya berharap terdapat proses berpikir dan merenung juga di kalangan pembaca dan teman-teman pembaca lain.

Sebagai pengantar, tulisan kolega saya yang berjudul “Muslim Pembelajar, tentang Waktu dan Cinta Ilmu” bisa menjadi awalan yang baik dalam diskusi kita kali ini. Saya sepakat dengan hampir seluruh uraian dalam tulisan tersebut, kecuali pada bagian kesimpulan, yaitu: ” Sejarah telah mencatat, bahwasanya tumbuhnya peradaban berawal dari tumbuhnya tradisi keilmuan karena substansi sebuah peradaban adalah ilmu pengetahuan.” Saya berpendapat bahwa substansi dari peradaban adalah Tauhid, atau dalam bahasa lain bapak kita Sjafruddin Prawiranegara: ideologi. Heriyanto pun menekankan mengenai landasan Tauhid ini dalam buku “Menggali Nalar Saintifik Islam.”

Al-Quran dalam QS.3:190-191 menyatakan dalil yang pas untuk mengembangkan kembali tradisi keilmuan umat Islam: tafakkur. Kalau Heriyanto (2011) menyebutkan filsafat sebagai kunci, saya membaca yang dimaksudkan Heriyanto sebagai tersebut sebagai proses tafakkur. Tafakkur terhadap kejadian alam akan membawa manusia kepada kebenaran yang universal dan berujung pula kepada Tauhid yang semakin lurus dan shahih. Tafakkur ini merupakan sebuah proses yang berawal dari Tauhid (atau ideologi) dan berujung kepada Tauhidullah. Sangat disayangkan bahwa proses tafakkur ini tidak lagi menjadi budaya dan tradisi di kalangan umat muslim, terutama yang masih muda. Pemuda muslim makin disibukkan oleh “kerja-kerja” penelaahan yang dangkal, semisal membaca dari internet, potongan berita, cuplikan artikel, pembaruan status, running text, dan sumber-sumber informasi lain yang instan. Saja memberikan jaminan bahwa tidak banyak proses tafakkur yang bisa kita lakukan dengan mengamati sumber-sumber informasi instan seperti itu, terutama apabila yang membuat informasi telah melakukan rekayasa informasi.

Sehingga untuk kembali kepada kejayaan tradisi keilmuan muslim, dalam bahasa saya: kemerdekaan berpikir dan berkehendak, umat Islam harus meluruskan Tauhid dan kembali kepada ajaran yang lurus dan menyeluruh yang telah diajarkan langsung oleh Rasulullah Muhammad saw. Hal ini juga sudah saya singgung pada tulisan saya yang berjudul “Meraih Kemerdekaan Kita Kembali”, walaupun saya menyinggung contoh kasus yang lain. Ada baiknya bagian penting dari tulisan saya tersebut saya cantumkan kembali di tulisan ini.

“Merdeka secara pemikiran bisa kita dapatkan dengan banyak membaca buku. Buku! Bukan internet, bukan twitter, bukan facebook, bukan pula sumber-sumber lain yang otentisitasnya bisa direkayasa. Buku dan manusia adalah sumber rujukan yang akan memperkaya pemikiran kita; memperkaya akal; memperkaya budi; memperkaya nurani. Buku adalah sumber-sumber yang padanya direkam segala macam pemikiran dan kejadian yang dialami setiap anak manusia yang menulis buku tersebut. Sedangkan manusia adalah pelaku sejarah yang dapt menceritakan dengan lebih hidup setiap jejak sejarah yang telah dia jalani sepanjang dia hidup di muka bumi. Buku dan manusia dapat menjadi referensi pemikiran yang luar biasa kaya. Pemikiran model apapun bisa kita dapatkan di berbagai buku, untuk dapat kita persamakan dan perbedakan. Perbandingan ini membawa kita kepada pemikiran baru atau mengikuti pemikiran yang sudah ada yang paling sesuai dengan kita. Kemerdekaan pemikiran yang terbentuk dari membaca buku dan mengenal manusia ini adalah untuk bisa melawan pemikiran dan turunan dari pemikiran tersebut yang bertentangan dengan pemikiran yang sedang kita ikuti.

Namun pedoman utama kemerdekaan pemikiran adalah nurani kita sendiri. Fitrah manusia. Ada yang menyebut ini dengan “kemanusiaan”. Saya mengikut kepada orang-orang yang menyebut fitrah tersebut dengan sebutan Islam. Dengan mengacu kepada fitrah, kita juga selalu mengasah, memperbedakan, dan mempersamakan pemikiran kita dengan yang lain. Kita ambil pemikiran yang paling sesuai dengan fitrah.

Setelah itu, ada pula kemerdekaan berkehendak. Sama saja. Kemerdekaan berkehendak ini harus berdasarkan fitrah manusia juga. Kehendal yang sesuai fitrah, yaitu Islam, tidak akan melangkahi hak orang lain dan tidak akan mengingkari kewajiban diri sendiri terhadap diri dan lingkungan. Kehendak adalah hasil atau buah dari pemikiran, sehingga merupakan cermin yang paling nampak dalam pandangan manusia.”

…(bersambung)

Berniat Kebaikan Belaka Sama dengan Berbuat Kejahatan?

Saya akhirnya bersepakat dengan salahsatu pernyataan dosen saya, “biasa-biasa sajalah.” Beliau mengatakan ini dalam konteks membanding-bandingkan orang dengan orang. Kalau saya boleh menambahkan, “biasa-biasa sajalah, toh dia bukan Nabi atau sahabat Nabi.” Saya bersepakat dengan pernyataan tersebut setelah hari ini sadar bahwa sebenarnya banyak sekali orang-orang yang bekerja di bawah gegap gempita popularitas, namun layak dikonsumsi media. Majalah Janna di penghujung 2011 menampilkan sosok-sosok yang beberapa diantaranya saya tidak pernah tahu. Mungkin saya tahu kerja-kerja mereka, tetapi siapa yang berperan di balik karya ini, saya baru mengetahui nama-nama mereka hari ini.

Terhadap hal ini, menurut saya, kita harus mulai belajar memendam rapat-rapat setiap pekerjaan kita. Biarlah Allah dan malaikat pencatat amal yang tahu. Tidak perlu kita terlalu genit selalu memamerkan setiap pemikiran dan pekerjaan kita. Allah itu kan memberikan nilai satu pahala kalau kita berniat kebaikan. Itu adalah nilai pahala yang sama persis dengan dosa ketika kita melakukan kejahatan, karena niat berbuat jahat tidak dinilai satu dosa. Baru kalau niat baik menjadi pekerjaan yang baik, Allah akan mencatatkan satu pahala lagi, bahkan dalam situasi tertentu diberi bonus berlipat ganda nilai pahala yang diberikan. Apa motivasi yang terkandung di sini?

Ya dalam hemat saya, kalau seseorang hanya bisa berniat kebaikan, sama saja dengan orang yang berbuat jahat. Tidak jauh berbeda. Motivasi lain yang diberikan Allah adalah: kalau hanya niat berbuat kebaikan saja sudah dinilai satu, masa seumur hidup kita hanya berniat belaka? Manusia itu kan gudang salah dan dosa. Kalau satu pahala berniat baik kita terus terhapus dengan satu dosa kita berbuat jahat, resultan kita selalu nol dong. Rugilah kita di yaumu al-mizan nanti. Maka untuk kita sekarang, bekerjalah sebanyak yang mampu kita kerjakan dan diam-diam sajalah. Harusnya kita takut menjadi golongan orang-orang “an taquulu maa laa ta’lamuuna.