Kapan Anda Pertama Kali Sadar Akan Sampah?

Penulis buku “GreenDeen” pada pengantar Bagian I tentang Limbah memberikan beberapa pertanyaan menarik sebagai berikut:

“….tanyakan pada diri sendiri: “Dari mana datangnya sampah yang anda hasilkan? Ke mana sampah itu pergi? Bagaimanakah cara yang paling baik untuk terlibat dalam upaya menjadikan dunia tempat yang lebih bersih dan sehat?”

Beberapa pertanyaan lain pun selalu dimunculkan di akhir setiap bab buku ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan banyak membantu pembaca untuk merumuskan kepedulian terhadap lingkungan hidup yang segera bisa langsung dieksekusi secara sederhana, cepat, dan tepat guna. Nah, untuk pada tulisan kali ini, saya ingin berbagi jawaban peribadi dari pertanyaan yang diajukan pada akhir Bab I yang berjudul “Perilaku Konsumtif yang Berlebihan. Ibrahim Abdul Matin, sebagai penulis buku ini, mengajukan pertanyaan retoris sebagai berikut:

“….tanyakan pada diri sendiri: “Kapan anda pertama kali sadar akan sampah?”

Kesadaran tentang sampah muncul pertama kali ketia SD pada pelajaran tentang moral. Kami diajarkan untuk senantiasa membuang sampah di tempat sampah agar tidak menyebabkan saluran air tersumbat dan mengakibatkan banjir. Permainan-permainan semasa kecil juga menambah kesadaran akan sampah, apalagi menyaksikan got yang tersumbat sampah sampai meluap airnya. Di rumah, saya juga dibiasakan untuk setiap sore atau pagi membantu orangtua membuang sampah. Perkenalan —lebih tepatnya, persentuhan— pertama dengan sampah-sampah dapur yang berbau busuk karena agak lama dibiarkan tertumpuk. Tugas saya terhadap sampah dari dalam rumah adalah membuangnya keluar rumah di tempat penampungan sampah yang lebih besar untuk kemudian diangkut oleh truk sampah. Saya harus rela menahan napas atau menutup hidung oleh karena bau sampah yang sangat busuk.

Kesadaran paling kuat tentu muncul pada saat kuliah, setelah lebih paham definisi dan bermacam-macam limbah. Ditambah pula aku berkesempatan kuliah di kota yang menangani sampah secara luar biasa buruk. Sampah di dekat kampus bisa menimbulkan bau menusuk hidung akibat tertumpuk berhari-hari. Namun miris juga melihat dan menyadari bahwa dari tumpukan sampah busuk itu, masih ada saja yang menggantungkan harapan akan nafkah, rezeki, bahkan makanan di situ. Masya Allah…

Berhenti Berpikir = Gagap Menghadapi Zaman

Maarif (2009, h.43) melontarkan pertanyaan berikut dalam autobiografi beliau: “….mengapa kemudian umat Islam berhenti berpikir selama ratusan tahun?” Heriyanto (2011, h.9) juga melontarkan pernyataan yang mendukung pertanyaan Maarif tersebut, “….keterbelakangan kaum Muslim dalam sosial-ekonomi-politik dan tradisi keilmuan, bahkan moral, membuat sebagaian besar kaum Muslim gagap dalam mengantisipasi tantangan dan perubahan zaman yang sedemikian keras.”