Tauhidullah Harus Menjadi Landasan dalam Membangun Peradaban

Diskusi kita kali ini dimulai dengan dua kutipan dari dua buku sebagai berikut:

“….mengapa kemudian umat Islam berhenti berpikir selama ratusan tahun?” (Maarif, 2009, h.43)

“….keterbelakangan kaum Muslim dalam sosial-ekonomi-politik dan tradisi keilmuan, bahkan moral, membuat sebagaian besar kaum Muslim gagap dalam mengantisipasi tantangan dan perubahan zaman yang sedemikian keras.” (Heriyanto, 2011, h.9)

Dua kutipan tersebut dilontarkan dalam konteks tradisi keilmuan yang pernah pesat dikembangkan oleh kaum muslimin. Diskusi kali ini mungkin akan lebih banyak memaparkan bacaan-bacaan saya beberapa waktu belakangan ini. Saya berharap terdapat proses berpikir dan merenung juga di kalangan pembaca dan teman-teman pembaca lain.

Sebagai pengantar, tulisan kolega saya yang berjudul “Muslim Pembelajar, tentang Waktu dan Cinta Ilmu” bisa menjadi awalan yang baik dalam diskusi kita kali ini. Saya sepakat dengan hampir seluruh uraian dalam tulisan tersebut, kecuali pada bagian kesimpulan, yaitu: ” Sejarah telah mencatat, bahwasanya tumbuhnya peradaban berawal dari tumbuhnya tradisi keilmuan karena substansi sebuah peradaban adalah ilmu pengetahuan.” Saya berpendapat bahwa substansi dari peradaban adalah Tauhid, atau dalam bahasa lain bapak kita Sjafruddin Prawiranegara: ideologi. Heriyanto pun menekankan mengenai landasan Tauhid ini dalam buku “Menggali Nalar Saintifik Islam.”

Al-Quran dalam QS.3:190-191 menyatakan dalil yang pas untuk mengembangkan kembali tradisi keilmuan umat Islam: tafakkur. Kalau Heriyanto (2011) menyebutkan filsafat sebagai kunci, saya membaca yang dimaksudkan Heriyanto sebagai tersebut sebagai proses tafakkur. Tafakkur terhadap kejadian alam akan membawa manusia kepada kebenaran yang universal dan berujung pula kepada Tauhid yang semakin lurus dan shahih. Tafakkur ini merupakan sebuah proses yang berawal dari Tauhid (atau ideologi) dan berujung kepada Tauhidullah. Sangat disayangkan bahwa proses tafakkur ini tidak lagi menjadi budaya dan tradisi di kalangan umat muslim, terutama yang masih muda. Pemuda muslim makin disibukkan oleh “kerja-kerja” penelaahan yang dangkal, semisal membaca dari internet, potongan berita, cuplikan artikel, pembaruan status, running text, dan sumber-sumber informasi lain yang instan. Saja memberikan jaminan bahwa tidak banyak proses tafakkur yang bisa kita lakukan dengan mengamati sumber-sumber informasi instan seperti itu, terutama apabila yang membuat informasi telah melakukan rekayasa informasi.

Sehingga untuk kembali kepada kejayaan tradisi keilmuan muslim, dalam bahasa saya: kemerdekaan berpikir dan berkehendak, umat Islam harus meluruskan Tauhid dan kembali kepada ajaran yang lurus dan menyeluruh yang telah diajarkan langsung oleh Rasulullah Muhammad saw. Hal ini juga sudah saya singgung pada tulisan saya yang berjudul “Meraih Kemerdekaan Kita Kembali”, walaupun saya menyinggung contoh kasus yang lain. Ada baiknya bagian penting dari tulisan saya tersebut saya cantumkan kembali di tulisan ini.

“Merdeka secara pemikiran bisa kita dapatkan dengan banyak membaca buku. Buku! Bukan internet, bukan twitter, bukan facebook, bukan pula sumber-sumber lain yang otentisitasnya bisa direkayasa. Buku dan manusia adalah sumber rujukan yang akan memperkaya pemikiran kita; memperkaya akal; memperkaya budi; memperkaya nurani. Buku adalah sumber-sumber yang padanya direkam segala macam pemikiran dan kejadian yang dialami setiap anak manusia yang menulis buku tersebut. Sedangkan manusia adalah pelaku sejarah yang dapt menceritakan dengan lebih hidup setiap jejak sejarah yang telah dia jalani sepanjang dia hidup di muka bumi. Buku dan manusia dapat menjadi referensi pemikiran yang luar biasa kaya. Pemikiran model apapun bisa kita dapatkan di berbagai buku, untuk dapat kita persamakan dan perbedakan. Perbandingan ini membawa kita kepada pemikiran baru atau mengikuti pemikiran yang sudah ada yang paling sesuai dengan kita. Kemerdekaan pemikiran yang terbentuk dari membaca buku dan mengenal manusia ini adalah untuk bisa melawan pemikiran dan turunan dari pemikiran tersebut yang bertentangan dengan pemikiran yang sedang kita ikuti.

Namun pedoman utama kemerdekaan pemikiran adalah nurani kita sendiri. Fitrah manusia. Ada yang menyebut ini dengan “kemanusiaan”. Saya mengikut kepada orang-orang yang menyebut fitrah tersebut dengan sebutan Islam. Dengan mengacu kepada fitrah, kita juga selalu mengasah, memperbedakan, dan mempersamakan pemikiran kita dengan yang lain. Kita ambil pemikiran yang paling sesuai dengan fitrah.

Setelah itu, ada pula kemerdekaan berkehendak. Sama saja. Kemerdekaan berkehendak ini harus berdasarkan fitrah manusia juga. Kehendal yang sesuai fitrah, yaitu Islam, tidak akan melangkahi hak orang lain dan tidak akan mengingkari kewajiban diri sendiri terhadap diri dan lingkungan. Kehendak adalah hasil atau buah dari pemikiran, sehingga merupakan cermin yang paling nampak dalam pandangan manusia.”

…(bersambung)